Sabtu, 24 Maret 2012

Jejak--Kekosongan--Dalam Diamku


Jejak

Dan kubiarkan diriku terbang
ke mana pun arah angin-Mu mengajakku
melangkah—
meski ‘ku hanya sehelai dedaun kering
yang jatuh dari ranting patah
tiada takut-ku berkelana
di alam raya
bersebab cinta-Mu mengiring
‘ku kembara ke mana-mana

_Poloria Sitorus_
Batam Island, 27 Februari 2012 (14.00Wib)


Kekosongan

Aku—
dalam desah resah
menantimu
di ruang hati
gelap gelisah

_Poloria Sitorus_
(Batam Island, Selasa, 28 Feb 2012/ 10.46Wib)


Kerinduan di Tanah Merah

Kekasih..
dapatkah engkau terjemahkan
seribu resah yang mendesak di dada?
Entah berapa puisi telah kutorehkan
di dinding hati—
rinduku padamu
serupa gelombang laut
menghempas—
lepas—
berkejaran
ingin mencumbu bibir pantai

_Poloria Sitorus_
Pantai Marina, Batam, Rabu, 29 Feb 2012

  
Dalam Diam-Ku

Malam—
ajarkan daku
menikmati hening
dalam diriku sendiri

(Poloria Sitorus)
Batam Island, Rabu, 29 Feb 2012/21.55Wib/

Puisi-puisi ini dipublish di Harian MedanBISNIS, Minggu, 25 Maret 2012

Jumat, 23 Maret 2012

Serial kisah yang baru..!


                                                Dialog antara Aku dan Bayangan
di Meja Makan—pada suatu Senja
(Poloria Sitorus)
            “Untuk apa kau makan..?” tanya Bayangan itu saat aku duduk di meja makan menikmati sekerat roti crackers+segelas Kopi ABC Mocca. Lalu sekerat roti itu melompat keluar dari mulutku, seperti tak rela kutelan ketika dia mendengar pertanyaan si Bayangan dan beberapa teguk Kopi ABC Mocca itu pun berontak hendak meluap tumpah, meski tadi dia tengah asyik dalam perjalanan menuju sebuah terowongan di kerongkonganku yang sempit dan licin berlendir.
            “Tentu aku makan untuk bertahan hidup!” jawabku ketus.
            “Hahaha…Hahaha…” si Bayangan malah terbahak-bahak.
            “Untuk apa kau pertahankan hidup..? Hahaha…Hahaha…”
            Merasa dilecehkan dengan pertanyaan bodoh itu, kulemparkan gelas kaca berisi Kopi ABC Mocca itu tepat di jantungnya.
            “Mati kau..!” kataku dengan nada sengit dan amarah yang memuncak hingga ke ubun-ubun.
            “Hahaha…Hahaha…Hahaha…” tawanya semakin keras dan menjadi-jadi hingga semua tetanggaku keluar dari ‘sarangnya’ dan mengintip dari balik jendela.
            “Kau…kau…kau… Bagaimana aku harus membunuhmu.??” aku hampir menjerit dan menangis.
            “Hahaha…Hahaha…Hahaha…” si Bayangan itu menari-nari tertawankanku dengan sangat puas dan sedikit mulai menjauh dariku.
            Coba tusukkan saja serpihan-serpihan gelas yang kau pecahkan itu tepat di jantungmu! Hahaha…Hahaha…” katanya lagi.
            Belum sempat tanganku menggenggam, pecahan-pecahan gelas kaca itu berubah secara ajaib dan gaib. Seolah Nirmala (Sang Putri Sulap) sedang bersembunyi di balik dinding atau malah dia berada di dalam tembok batu rumahku?
            “Binsalabin…”
            Satu per satu, pecahan-pecahan gelas kaca itu ubah wujudnya menjadi ‘Anak-Anak Gelas’. Semuanya lengkap berisi kopi yang sama dengan ‘Induk Gelas’ tadi. Warnanya sama persis dan aromanya pun serupa aroma kopi yang coba kuteguk beberapa jam yang lalu. Ya, aroma Kopi ABC Mocca. Namun ada dua ‘Anak Gelas’ yang isinya sungguh berbeda. Cairan itu berwarna merah. Serupa cairan yang menetes dari dalam danging saat jemari kita tergores kaca atau pisau tajam. Darah? Ya..darah!
            Dua ‘Anak Gelas’ berisi darah itu melompat-lompat riang mengelilingi aku—dan entah apa sebab musabab aku menjadi begitu takut, tanpa tahu apa dan darimana asal ketakutan itu? Sungguh, aku menjadi takut sekali.!! Seolah dikejar-kejar setan/hantu dari lembah dan sarang iblis paling suram. Kubayangkan rupa-rupa yang paling tidak layak dengan rupa manusia.
            “Apa  maumu..???” aku berteriak, sambil terus berlari berusaha menghindari dua ‘Anak Gelas’ yang mengandung darah itu.
            “Jangan takut...! Kemarilah..! Kemari..!!!” bujuk satu ‘Anak Gelas’ darah itu dengan nada lembut dan merdu suaranya.
            “Mendekatlah padaku…” kata ‘Anak Gelas’ darah yang satu lagi sembari merentangkan kedua tangannya. Seolah dia ingin memelukku secara utuh.
            Ratusan ‘Anak Gelas’ lainnya yang beraroma Kopi ABC Mocca menarikan tarian tortor paling indah yang belum pernah kulihat sebelumnya ditarikan oleh manusia. Mereka seolah menyambut kematianku.
            “Dug…Dug…Dug…Dug…Dug…” dari kejauhan irama bedug menampar jantungku hingga hampir retak—pecah. ‘Anak-anak Gelas’ beraroma Kopi Mocca itu semakin riang menari tirukan gerak tortor sigale-gale dari Pulo Samosir.




            **
            Telepon berdering. Aku berlari mengjangkaunya.
            “Haallooo…”
            “Yaaa…” aku menjawab dengan suara yang kupaksa lepas dari kerongkongan, sebab di sana suara-suara itu ditahan oleh sekerat roti yang sempat masuk tadi.
            “Aku Malaikat…!” suara dari seberang dengan nada bass-nya bergema di telingaku.
            “Haahh…?? Malaikat..???” tanyaku tak percaya. Kupikir, dia pasti nyasar dan seharusnya bukan aku yang akan diteleponnya senja ini.
            “Yaa…Malaikat Maut.!! Malaikat kematian!” tegasnya lagi.
            “Hahaha…Hahaha…Hahaha….” tawanya bergema di mana-mana.
            Lalu si Bayangan, Malaikat Maut, dan ‘Anak-anak Gelas’ berisi darah dan berisi Kopi ABC Mocca itu menertawakanku bersama-sama. Namun anehnya, meski mereka tertawa terbahak-bahak, aku melihat mata mereka semua basah. Tidak, tidak sekedar basah, tapi berair. Ya, benar-benar berair. Aku yakin tidak salah melihat. Cairan-cairan berwarna merah membuncah pecah dari bola-bola mata mereka. Mirip seperti air mancur. Semakin lama semakin deras dan kian deras. Bukan seperti gerimis yang sering kunikmati di ambang senja.
            Tak lama kemudian, cairan-cairan merah yang meluap tumpah dari bola-bola mata mereka, aromanya perlahan mulai berubah. Dari aroma amis paling busuk dan menyengat, berganti aroma sejuk—menyegarkan. Beberapa detik lagi hadir aroma wangi bunga-bunga mawar. Ya, kupastikan itu adalah aroma bunga mawar yang tengah kembang merekah. Dan volume cairan merah itu, semakin lama semakin meninggi, hingga mencapai atap rumah. Aku tenggelam—di dalamnya. Seluruh tubuhku terbenam. Aku menjerit. Tapi percuma saja. Sebab suaraku tak mampu keluar.
            Sekuat tenaga aku berusaha berontak. Aneh sekali, cairan itu, semakin lama mulai mengental dan terasa semakin mengetat. Aku tak bisa bergerak sama sekali. Aku pasrahkan diri. Kupejam mata. Tak ada lagi udara yang mengalir ke lubang hidung. Tapi anehnya lagi, aku belum mati. Ya, aku masih merasa hidup. Benar-benar masih hidup, karena saat itu aku masih tetap mampu berpikir dan berdoa.
Tiba-tiba kulit bumi yang kupijak retak—pecah, menganga, entah karena apa? Aku tak mengerti. Kulihat bola api memancar dari sana. Menerobos tubuhku. Dan aku, berubah menjadi bola api. Membara—panas, membakar. Cairan darah yang menjeratku—semakin terasa kering, retak-retak, pecah-pecah, mengumpal-gumpal, membentuk ribuan kembang mawar berwarna merah.
Lempeng-lempeng kecil kerak bumi yang tadi retak, kembali menyatu. Satu-satu batang-batang berdaun hijau muncul secara ajaib dari dalam tanah, menggapai-gapai setiap kumtum bunga mawar yang tengah merekah. Aku bernafas lagi. Aroma mawar memenuhi seluruhnya. Pintu-pintu, jendela-jendela dan atap rumahku telah terbuka. Sebab ribuan mawar itu mendobrak keluar. Aku membuka mata. Seribu lelaki dari berbagai belahan dunia telah mengelilingi rumahku hendak memetik mawar merah yang tengah merekah.
Aku mencari seseorang diantara mereka. Satu per satu kuamati wajah-wajah para lelaki itu. Ah, melelahkan sekali. Aku tak bias menemukannya.
“Datanglah…datanglah satu orang diantara kalian. Hanya satu orang! Siapa saja yang mampu memetik mawar merah yang tumbuh di jantung hatiku? Maka dialah yang akan menjadi Tuan dan pemilik hatiku, selamanya…”
Sayembara pun dimulai. Siapakah diantara mereka yang akan berhasil memetik mawar merah di jantung hati ini?
(tunggu episode selanjutnya)

Note : “Ini hanyalah dialog kecil antara Aku dan Bayangan, pada suatu hari di ambang senja. Jangan tanyakan untuk apa aku menulis hal ini, sebab aku hanya ingin menuliskannya saja! Tak ada alasan lain. Begitu saja dia lahir dari rahim imajinasiku, dan menuntut untuk ditulis.”

 Catatan pada Selasa, 06 Maret 2012 (saat Magrib tengah berkumandang)
Diedit kembali pada hari Jumat, 23 Maret 2012 (15.16Wib)
_Poloria Sitorus_
KSI-Medan, penghujung Maret 2012


           

           


           

Minggu, 11 Maret 2012

Catatan Luka di Pulau ‘Tanah Merah’


Catatan Luka di Pulau ‘Tanah Merah’
(Oleh : Poloria Sitorus)

Catatan Luka di ‘Tanah Merah’-1
Hatikubegitu besarkah mencintaimu?
melebihi cintaku pada diriku sendiri
tapi jarak dan waktu merampasmu dariku
sedang aku—seluruh jiwa-Ku selalu
engkau bawa pergi
jauh..
Batam Island, Rabu, 29 Feb 2012/21.55Wib/

Catatan Luka di ‘Tanah Merah’-2
Raga bagai tak bernyawa
dan hati kini—serupa akar rimpang
hangus—di sengat matahari
menggelepar
di padang ilalang yang tiada ber-embun
tanpa ada bisik cinta dari bibirmu
yang merah merekah
selalu dibasahi aroma rindu
Batam Island, Rabu, 29 Feb 2012/12.37Wib/

Catatan Luka di ‘Tanah Merah’-3
Langit—seperti hatiku kini
Curahkan tangisnya ke dada bumi
Merindukanmu adalah luka
Mencintaimu adalah luka
Menantimu adalah luka
Cintamu—cintaku, luka

Batam Island, Rabu, 29 Feb 2012/21.02Wib/


Note : Puisi ini telah dimuat di Harian BATAK Pos, Sabtu, 10 Maret 2012