CERPEN

Dirahut Padan 
(Oleh : Poloria Sitorus)

Udara dingin mengalungi sekitar. Sisa hujan masih terlihat dari celah jendela. Menetes satu persatu, tapi cukuplah membuat daksa hati tak hendak pergi ke mana-mana. Malam ini aku hanya ingin menikmati sisa tarian hujan. Seperti biasa, setiap kali hujan. Aku selalu menari bersamanya. Bagiku itu adalah sebuah semedi. Dan, akan lebih sempurna jika sang rembulan bertengger di angkasa sana.
MEMERGOKIKU yang sedang bertelanjang. Polos, seperti sang rembulan, yang juga polos tanpa awan menutupinya. Setiap lekuk penciptaan- Nya terlihat jelas. Pahatan- Nya tidak tertutupi. Lepas, tanpa sehelai pakaian. Pada saat-saat seperti itu selalu kurangkai puisi cinta dan doadoa tulus suci, kutitipkan ke pangkuan sang rembulan, hanya buat kekasih hatiku, Herfan!
**
Malam itu, usai menari bersama tarian hujan aku mendapat telepon. “Dek…besok jangan lupa jemput Bapa ke bandara yaa..! Besok Bapa berangkat, penerbangan jam 11.30 wib. Jadi kau harus nyampek di bandara paling lambat jam 12.00wib,” begitu pesan kak Feb di telepon tadi malam. Sebenarnya tanpa diminta pun, tentu aku akan menjemput Bapa. Ya, kerinduan yang mendesakku untuk segera bertemu. Aku ingin sekali melihat wajahnya, dengan sorot matanya yang tajam.
Terkadang lebih tajam dari sorot matahari di saat marah. Tapi yang kurindukan bukan itu. Aku rindu, di balik tajam sorot sinar mata itu, ada kelembutan yang selalu menyejukkan batin ketika menangkap indah sinarnya. Dan, aku rindu melihat pahatan senyum di wajah b apa. Ah, bahagia sekali sejak aku dapat kabar kalau bapa sudah sembuh total. Jauh-jauh ke pulau seberang mencari pengobatan tradisional patah tulang, ternyata tidak sia-sia.
Satu hal yang membuatku lebih bahagia, kekasihku ingin aku pertemukan dengan bapa. Semoga bapa berkenan menerimanya sebagai calon menantunya kelak.
**
Setiba di bandara, aku langsung menuju pintu keluar. Kulirik lagi jam tanganku, sudah jam 12.30 wib. Pesawat yang ditumpangi Bapa pasti sudah mendarat. Penerbangan Batam-Medan hanya memakan waktu sekitar 45 menit. Tak sabar mataku mencari-cari sosok Bapa yang kurindukan. Pintu keluar sudah dipenuhi orang-orang yang sedang menunggu. Ah, aku semakin tak sabar. Ingin cepat-cepat berhambur dalam rangkulan Bapa. Aku menerobos kerumunan orang-orang itu untuk bisa berdiri persis di mulut pintu keluar. Aduuhhh…Herfan kok belum nyampe juga ya? aku benar-benar gelisah.
Tadi janjinya kekasihku, Herfan, akan menyusul ke bandara. Sekalian akan aku kenalkan dia sama Bapa. Sudah jam segini, Herfan tidak juga nongol. Ah, mungkin saja dia terjebak macet. Atau, semua lampu merah di kota ini menjaringnya, aku hanya bisa menduga-duga. Dia pun tak ada sms mengabariku, entah di mana dia? Aku tersentak kaget melihat Bapa keluar dari pintu itu bersama seseorang. Rasanya aku ingin cepat-cepat menghindar agar tak satu pun mata mereka melihatku. Tapi terlanjur. Aku berdiri di barisan paling depan dari semua orang-orang yang sedang menunggu...

Read more: http://www.hariansumutpos.com/2011/12/21143/dirahut-padan#ixzz2KEc56TNV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar