Jumat, 21 Desember 2012

PUISI


Layunya Sehelai Daun di tengah Kota
(Oleh : Ria Sitorus)

Dengan sepasang kaki mungil
aku bertumpu di atas lapisan kulit bumi
sembari menghafal; pada lapisan atmosfer yang mana
lubang hidungku menarik nafas-nafas kehidupan?
diantara stratosfer atau trofosfer?
walau kini lebih banyak kandungan nitrogen dan gas-gas rumah kaca yang menguap di udara
dari lubang-lubang knalpot kenderaan yang memadati setiap ruas jalan di kota-kota besar
dan dari gedung-gedung ber-knalpot raksasa yang kita sebut-sebut pabrik, pusat industri, dan lain-lain. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Tak terhitung!
sementara tak terhitung pula seberapa juta batang pohon yang tumbang setiap hari oleh tangan-tangan yang mungkin tak mengerti betapa berharganya sehelai daun merawat usia bumi ini.

Ria Sitorus, KSI-Medan, September 2011

**
PUISI ini telah dipublish pertamakali di Rubrik REBANA, Harian ANALISA-Medan, pada Minggu 09 Desember 2012.

PUISI

Aku, Kau dan Tan Malaka  dalam Sebuah Sajak
(kepada : Adha Imran)
Oleh : Ria Sitorus

Engkau pertemukan aku dengan Tuan kita—Tan Malaka
dalam sebuah sajak berdarah, cerita revolusi di tahun 1945-an
sedang engkau dan aku baru bersua satu kali saja di kota-ku
Medan namanya—sebuah kota bersejarah
kota penuh kenangan

Senja itu engkau datang membawa cerita
dalam bingkai puisi—yang engkau hadiahkan padaku
dan kubuka bingkai itu di bawah pokok asam yang rindang—imajinasi
hendak kubagi pada teman-temanku jua di sana

Agar kelak mereka mengingat nama-mu
dan sejarah Tuan kita—Tan Malaka
pun aku yang mengirimi-mu kembali sajak ini

Ria Sitorus, KSI-Medan, 28 Nov 2012

**
Puisi ini lahir dari imajinasi penulis dan terinspirasi setelah membaca sajak Adha Imran “Sajak Tan Malaka di Jakarta, 1945” di Kotan TEMPO, Minggu 25 November 2012.

NB :
Puisi ini telah terbit pertamakali di Rubrik REBANA-Harian ANALISA-Medan, Minggu 09 Desember 2012.

Jumat, 12 Oktober 2012

Puisi

TU DAMANG-DAINANG
(Poloria Sitorus
)

Damang/Dainang…
adakah angin membisikkan padamu
aku-borumu sedang dalam siksa rindu

mentari perlahan jatuh
di balik gunung-gunung
kutahu Damang/Dainang baru saja naik ke gadu1)
sisa cahaya di dinding langit barat
mengiring langkahmu hingga ke huta2)

ah, Damang/Dainang…
sungguh aku-borumu sedang dalam siksa rindu
maaf..langkahku tertambat aral
seribu rintang merentang
aku tak bisa cepat pulang
memasakkan air hangat
pelepas lelahmu sepulang dari juma3)

oh, Damang/Dainang…
sungguh aku-borumu sedang dalam siksa rindu

Note :
*Damang/Dainang : sebutan Ayah/Ibu dalam Bhs.Batak Toba: 1) Pematang sawah, 2) Kampung, 3) Sawah
KSI-Medan, penghujung Maret 2012

Tao Toba Nauli
(Oleh : Poloria Sitorus)

 
Oh, Tao Toba nauli
rinduku menggelora padamu
mencium aroma biru harummu
merasakan nikmat sejuk pelukmu
batu-batu di tepian Tao Toba
rindu kakiku menjejakmu
turun dari kapal-menyeberang
dari Ajibata menuju Tuktuk Siadong

oh, Tao Toba nauli..
rindu "ku duduk di pangkuanmu
senandungkan andung-andung
*o, Tano Batak
sai naeng hutatap
dapothonokku
tano hagodangakki
o, Tano Batak
andigan sahat
au on naeng mian di ho, sambulokki

ah, Tao Toba nauli..
masih adakah di rahimmu
ribuan suro1) ni Ihan Batak,
dengke, jahir, dan pora-pora
ataukah itu hanya tinggal cerita lalu?
oh, Tao Toba nauli
adakah parasmu masih seindah dulu?

Note : 1)bibit ikan: *Lirik lagu daerah "O Tano Batak"
KSI-Medan, penghujung Maret 2012






Harian Analisa, 13 Juni 2012
Sumber : http://www.analisadaily.com/news/read/2012/06/13/56245/tu_damangdainang/#.UHe8iXL4yqA

Minggu, 02 September 2012

Membaca Kenangan


Kembali aku—
membaca kenangan
di antara rotasi bumi dan matahari.

(Ria Sitorus)
Minggu, 02 Sept 2012 (13.59)

Senin, 27 Agustus 2012

Akulah Angin---Engkaulah Api

Setiap utas rambutku telah berubah
menjadi syair dan ghazal
berkat cinta-MU.

(D-2329)
Jalaluddin Rumi


                                                                                                                               

Kamis, 10 Mei 2012

Pemberontakan Lewat Seni Rupa

Pemberontakan Lewat Seni Rupa
(Oleh : Poloria Sitorus)

 
Pada Sabtu (05/5) lalu, tepat pukul 19.15 WIB resmi dibuka Pameran Seni Rupa Medan Contemporary Arts Festival (MCAF) II. Bertempat di Ruang Pameran Taman Budaya Sumatera Utara, Medan, pameran kali ini menghadirkan karya-karya para pekarya muda yang bergiat di berbagai komunitas seni rupa di kota Medan. Mereka adalah SAHALA, Me & Art, Vandals Stone, LKL, Mentosa Art, Metavana, Arie Damanik (Coro Siantar), BOSMAN, Hendra Siahaan, Sinji, Icut Siboro, Rico Omz, Irwanson, Bagus Pribadi, Bambang, Yashar, dan Teguh.
            Pameran Seni Rupa yang bertemakan “Urban Arts” ini sengaja diusung sebagai bentuk kegelisahan dan sumber kreatifitas para pekarya muda dalam merespon kondisi sosial masyarakat urban, khususnya di kota Medan. Melalui bahasa rupa yang intens berdialektika dengan dinamika urban, masalah urban pun lantas menjadi sesuatu yang menantang bagi para perupa muda Medan ini. Ide-ide kreatif mereka hasilkan lewat sentuhan-sentuhan artistik di atas kanvas. Sehingga karya-karya yang dipamerkan di Gedung Pameran tersebut menjadi sajian yang unik dan menarik.
Beberapa karya ‘Seni Instalasi’ yang ditampilkan di halaman Gedung Pameran juga  menjadi pembuka yang menyentak mata para pengunjung. Baju-baju, celana, beberapa celana dalam pria, sepeda anak-anak, sepasang sepatu pria dewasa, dan berbagai jenis instalasi lainnya yang tergantung di sekitar halaman gedung pameran, tak ayal mengingatkan kita pada keseharian. Setidaknya, banalitas yang menyembul dalam karya-karya di pameran ini seakan melemparkan kita kembali pada realitas sehari-hari, yang konon sedikit terlupakan.
Adie Damanik, salah seorang pekarya muda dalam MCAF II ini mengatakan, bentuk instalasi yang mereka rancang ini merupakan simbol pemberontakan terhadap perubahan peradaban dan fenomena hidup manusia urban di kota Medan saat ini. Bahkan jauh sebelum mengadakan event ini, lanjut Adie, mereka melakukan observasi ke beberapa titik (daerah di kota Medan) seperti ke tempat pembuangan sampah di Pancur Batu, ke Mall (Carefour), ke tempat-tempat prostitusi, dan beberapa tempat lainnya.
Ambil contoh “instalasi celana dalam” (pakaian dalam pria), itu merupakan gambaran bahwa dunia prostitusi di kota Medan sudah semakin tak terkendali, bahkan harga diri telah ‘dipajang’ di mana-mana. Namun sebagai karya seni yang mengusung tema kontemporer, tentu itu semua kembali pada interpretasi (penafsiran) setiap orang, terutama para penikmat seni itu sendiri,” tambah Adie Damanik, mahasiswa yang tergabung di Komunitas Coro Siantar ini.
Berkaitan dengan itu, beberapa karya yang menggambarkan dunia seksualitas (dengan sedikit vulgar) juga merupakan bagian dari fenomena urban tersebut. Seperti berbagai lukisan yang memajang pakaian dalam wanita, serta lukisan-lukisan yang menggambarkan indahnya tubuh wanita, dan lain sebagainya.
Instalasi sepeda anak-anak yang digantung di halaman Gedung Pameran, tambah Adie Damanik, merupakan kritik sosial, di mana saat ini sudah tidak ada lagi kebebasan untuk bermain (khususnya bagi anak-anak). Kebebasan yang dimaksud lebih kepada tempat bermain. “Sebab ruang bermain telah dibatasi oleh padatnya gedung-gedung dan bangunan-bangunan. Hampir tak ada lagi ruang berupa lapangan kosong untuk bermain bagi anak-anak di kota ini,” tutur Adie Damanik.
Yang lebih unik lagi, ada sebuah instalasi di bagian atap Gedung Pameran, beberapa kursi dan meja disusun rapi ditambah instalasi lainnya. Menurut penjelasan Adie Damanik, itu merupakan sebuah kritik terhadap para pejabat negeri ini. Para pejabat yang menempatkan dirinya jauh di atas, tidak terjangkau oleh rakyat, dan seolah tak ingin melihat masyarakat bawah. Maka lewat karya-karya instalasi ini, para pekarya Sumut 2012 mencoba menampung jeritan rakyat yang lalu mereka sampaikan lewat pameran MCAF II.
Melihat latar belakang para pekarya muda yang kebanyakan mahasiswa, tentu adanya apresiasi, dukungan atau bentuk kepedulian lainnya dari para penikmat seni, khususnya dosen Seni Rupa sangat diharapkan.
“Meski baru sebagian kecil, paling tidak ada beberapa dosen yang memberikan kritiknya saat melihat karya-karya kami. Dan kritik tersebut tentu merupakan bentuk apresiasi dan dukungan yang sangat berharga,” kata Adie Damanik menyikapi adanya kritik dari kalangan akedemisi kampus. “Lebih dari itu, kita juga mengharapkan kunjungan langsung dari para dosen seni rupa tersebut. Sebab kunjungan mereka sangat berarti bagi para pekarya muda seperti kami ini,” tambah Adie Damanik menutup perbincangan kami di tengah-tengah pengunjung pameran malam itu.
Pameran Seni Rupa MCAF II yang bertema “Urban Art” ini dijadwalkan berlangsung selama satu minggu (05 Mei – 12 Mei 2012). 
Pameran juga dilanjutkan dengan diskusi “Urban Arts” serta Workshop Performance Kolaborasi Pekarya Muda Sumut 2012 pada Kamis (10/5), bertempat di Ruang Pameran dan Open Stage Taman Budaya Sumatera Utara, Medan.
           

 
Foto (1) Instalasi, karya : Adie Damanik & Irwanson Tamba
















 
Foto (2) KEHILANGAN, karya : Yashar
 



 

















Foto (3) NAFSU, karya : W. Siboro


 

















Foto (4)
Para perupa berfoto di depan Gedung Pameran, ketika acara pembukaan resmi Pameran Seni Rupa, Sabtu 05 Mei 2012 (pkl.19.30Wib) Taman Budaya, Sumatera Utara – Medan.















Foto (5) Tampak beberapa pengunjung sedang sibuk mengambil sesi foto lukisan dan rupa-rupa yang dipajang di Gedung Pameran, Taman Budaya, Sumatera Utara - Medan.















Foto (6) : Seorang pengunjung tampak sedang asyik mengamati sebuah lukisan di Gedung Pameran-Taman Budaya Sumatera Utara - Medan.
  














Oleh : Poloria Sitorus, Medan, 06 Mei 2012
Penulis adalah pecinta seni. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI)-Medan.

Harian BATAK POS, Kamis 10 Mei 2012