Senin, 20 Oktober 2014

Sebuah Prosa : Dalam Sujud Seorang Perempuan



:: Airmata Duka Dalam Sujud Seorang Perempuan ::
: kepadamu Sang Kekasih Jiwa

(Oleh : Ria Sitorus)





                Malam itu, setelah menuntaskan segala kerinduan sepasang kekasih yang bergolak dalam dada, perempuan itu diantar pulang oleh kekasihnya. Dengan lembut dan penuh kasih, dikecupnya tangan lelakinya yang selalu setia mendampinginya dalam suka-duka. Perempuan itu memasuki gerbang. Melangkah pelan, meninggalkan gerbang. Membiarkan kekasihnya pulang, sembari dalam dadanya dilantunkan do’a semoga senantiasa Sang Pemilik Takdir mempertemukan jiwanya dan jiwa kekasihnya dalam cinta yang abadi.
Saat tubuh perempuan itu tertelan di balik pintu rumahnya, tangisnya pecah. Tangis penuh luka-duka. Menanggungkan kerinduan yang kian mendera.
Kepada Sang Pemilik Semesta, perempuan itu berteriak dalam doa-doa, dalam bait-bait puisi, seperti selama ini diajarkan sang kekasih jiwanya.
            Dalam malam yang hening, perempuan itu menulis. Dan terus menulis…
**
Tuhan-ku..
jika hanya kematian yang mampu mengakhiri cintaku padanya,
maka bawalah ruh-ku dalam pangkuan-MU Yang Maha Agung

Tuhan-ku..
jika engkau tak inginkan besar cintaku ini
kupersembahkan kepadanya yang terkasih
maka cabutlah semua rasa cinta yang telah mengakar
di jantung, di hati dan di jiwaku
biarlah kosong. Dan hampa!
Dan Engkaulah yang mengisi jiwaku ini
 dengan cinta-MU Yang Maha Suci.
(*)
            Usai menulis, tangis mengalir menganak sungai dari kelopak matanya yang lelah. Mengalir kian deras. Kian deras. Kian deras. Dan kian deras. Menganak sungai hingga membasahi wajahnya. Mebasahi hatinya. Membasahi jiwanya. Membasahi bukunya. Membasahi lantai kamarnya. Membanjiri rumahnya. Lalu pecah dan menumpas. Menganak sungai ke halaman. Terus mencipta sungai yang lebih besar. Terus semakin membesar, menuju rumah kekasihnya.

(Medan, 20 Oktober 2014) dalam hening malam.




Mawar Berduri



Mawar Berduri
(Oleh : Ria Sitorus)

Kau—
setangkai mawar berduri
kecantikanmu telah melukai dirimu sendiri
dan olehnya engkau layu sebelum mekar
merahmu memudar tercerabut akar meluka memar.

Durimu—
teramat tajam melukai
hati dan jiwa para kekasih
menancap menggores luka
di sudut jantungku pun sudut jantungnya.

Durimu—
membelah keraguan yang bersemayam di dalam-ku dan di dalam-nya.

Airmata duka—
buah perih dari luka yang telah kau goreskan
duhai mawar berduri
di kelopakmu, segala perihku kuletakkan!
Jatuh bunga, jatuh airmata
ke dalam jurang yang kau gali sendiri !
(*)


(KSI-Medan, 27 September 2014)

Rabu, 01 Oktober 2014

Angin dan Daun

:: Angin dan Daun ::
(Oleh : Ria Sitorus)

Engkaulah angin-- yang kerap menggugurkan daun-daun dari dahannya.
Gugur dan layu bunga-bunga
dari jejakmu. (*)

(Medan, 26 September 2014)





Rindu Hujan - Hujan Rindu

Rindu Hujan
(Oleh : Ria Sitorus)



Aku sedang mengenang—
saat kita merangkai kata di bawah derai hujan
aku tak mungkin melupakannya
dan kutahu engkau juga menyimpannya dalam  lipatan ingatanmu
sebab ada rindu cemas yang
kita rajut bersama ketika itu
pada jantungku dan jantungmu yang kian kencang berdetak


Duhai, senja itu—
hujan telah menyihir kita menjelma puisi
dalam dekapan cinta.
(*)

(KSI-Medan, 21 Mei 2014)

Selasa, 30 September 2014

:: CINTA dan Jembatan Mimpi ::






"Cinta selalu punya dua sisi, ia bagai jembatan mimpi atau bagai anggur yang memabukkan jiwa.
Namun dalam cinta terselip belati, bisa melukai juga bisa membunuh."

(Shakespeare: R & J)

"Dan aku memilih yang pertama, bahwa cinta adalah jembatan mimpi di hidupku--meniti masa depan yang indah dan bersemi."

Catatan Ria Sitorus
Medan-30 September 2014/ 15.26Wib






Sabtu, 30 Agustus 2014

PECAH Pada Pertemuan SUNYI

PECAH Pada Pertemuan SUNYI
{ Sajak-Sajak Ria Sitorus }


:: PECAH ::
(Oleh : Ria Sitorus)
Kasih..
membaca pesanmu yang beku
dadaku terasa bergetar
gigil jiwaku dalam sunyi. (*)

(Medan, 29 Agustus 2014)

:: Pertemuan Sunyi ::
(Oleh : Ria Sitorus)

Selalu ada pertemuan
—kemudian perpisahan..

Kamis, 05 Juni 2014

Pertikaian PUISI




Pertikaian PUISI
(Oleh : Ria Sitorus)

Jika aku berhenti menulis PUISI
itu sama artinya nadiku berhenti berdetak
tak—tak—tak—tak—tak…
dan waktu di jantungku pun terhenti !

Nak—kau seorang sarjana,
apa mungkin kau hidup dari menulis PUISI saja?”
saban hari, Damang/Dainang seperti mencemaskan
masa depan puisi-puisiku.

Dik…berapa banyak kau dapatkan honor
dari puisi-puisimu itu? Puaskah kau—
hidup seperti itu, begitu-begitu saja..”
saudara-saudaraku seperti sangat prihatin tentang nasib puisi-puisiku,
seolah sangat prihatin akan nasib dan masa depanku.

Jika aku berhenti menulis PUISI,
itu sama artinya nadiku berhenti berdetak,”
kataku lagi seperti jawabku di hari-hari yang lampau.

Apa kau bisa kaya dari puisi? Apa kau bisa beli mobil mewah dari puisi? Apa kau bisa—
membangun rumah dari puisi? Apa kau bisa, bahagia—di dalam puisi?”

Pertanyaan-pertanyaan itu pecah—
di dadaku. Dan pertanyaan terakhir
menyusup di sudut jantung!
Ya—aku bahagia di dalam PUISI.
Puisi-lah jalanku mencari cahaya
—mencari jalan Tuhan
dan menemukan diriku sendiri,”
jawabku lirih…

Airmata mengalir lembut dan hangat
mewakili duka-lukaku..
mereka semua berlalu pergi
meninggalkanku dalam keterasingan
sebelum aku sempat bertanya;
Apakah kalian pernah membaca
sajak-sajak yang kutulis?”
(*)

(Medan, 20 Mei 2014)