Pemberontakan
Lewat Seni Rupa
(Oleh : Poloria Sitorus)
Pada Sabtu (05/5) lalu, tepat pukul 19.15 WIB resmi dibuka Pameran
Seni Rupa Medan Contemporary Arts
Festival (MCAF) II. Bertempat di Ruang Pameran Taman Budaya Sumatera Utara,
Medan, pameran kali ini menghadirkan karya-karya para pekarya muda yang bergiat
di berbagai komunitas seni rupa di kota Medan. Mereka adalah SAHALA, Me &
Art, Vandals Stone, LKL, Mentosa Art, Metavana, Arie Damanik (Coro Siantar),
BOSMAN, Hendra Siahaan, Sinji, Icut Siboro, Rico Omz, Irwanson, Bagus Pribadi,
Bambang, Yashar, dan Teguh.
Pameran Seni Rupa yang bertemakan “Urban Arts” ini sengaja diusung sebagai
bentuk kegelisahan dan sumber kreatifitas para pekarya muda dalam merespon
kondisi sosial masyarakat urban, khususnya di kota Medan. Melalui bahasa rupa
yang intens berdialektika dengan dinamika urban, masalah urban pun lantas menjadi
sesuatu yang menantang bagi para perupa muda Medan ini. Ide-ide kreatif mereka
hasilkan lewat sentuhan-sentuhan artistik di atas kanvas. Sehingga karya-karya
yang dipamerkan di Gedung Pameran tersebut menjadi sajian yang unik dan
menarik.
Beberapa karya ‘Seni
Instalasi’ yang ditampilkan di halaman Gedung Pameran juga menjadi pembuka yang menyentak mata para
pengunjung. Baju-baju, celana, beberapa celana dalam pria, sepeda anak-anak,
sepasang sepatu pria dewasa, dan berbagai jenis instalasi lainnya yang tergantung
di sekitar halaman gedung pameran, tak ayal mengingatkan kita pada keseharian.
Setidaknya, banalitas yang menyembul dalam karya-karya di pameran ini seakan
melemparkan kita kembali pada realitas sehari-hari, yang konon sedikit
terlupakan.
Adie Damanik, salah seorang pekarya muda dalam MCAF II ini
mengatakan, bentuk instalasi yang mereka rancang ini merupakan simbol
pemberontakan terhadap perubahan peradaban dan fenomena hidup manusia urban di
kota Medan saat ini. Bahkan jauh sebelum mengadakan event ini, lanjut Adie,
mereka melakukan observasi ke beberapa titik (daerah di kota Medan) seperti ke
tempat pembuangan sampah di Pancur Batu, ke Mall (Carefour), ke tempat-tempat
prostitusi, dan beberapa tempat lainnya.
Ambil contoh “instalasi celana dalam” (pakaian dalam pria), itu merupakan
gambaran bahwa dunia prostitusi di kota Medan sudah semakin tak terkendali,
bahkan harga diri telah ‘dipajang’ di
mana-mana. Namun sebagai karya seni yang mengusung tema kontemporer, tentu itu semua
kembali pada interpretasi (penafsiran) setiap orang, terutama para penikmat
seni itu sendiri,” tambah Adie Damanik, mahasiswa yang tergabung di Komunitas Coro
Siantar ini.
Berkaitan dengan itu, beberapa karya yang menggambarkan dunia
seksualitas (dengan sedikit vulgar) juga merupakan bagian dari fenomena urban
tersebut. Seperti berbagai lukisan yang memajang pakaian dalam wanita, serta lukisan-lukisan
yang menggambarkan indahnya tubuh wanita, dan lain sebagainya.
Instalasi sepeda anak-anak yang digantung di halaman Gedung Pameran,
tambah Adie Damanik, merupakan kritik sosial, di mana saat ini sudah tidak ada
lagi kebebasan untuk bermain (khususnya bagi anak-anak). Kebebasan yang
dimaksud lebih kepada tempat bermain. “Sebab ruang bermain telah dibatasi oleh padatnya
gedung-gedung dan bangunan-bangunan. Hampir tak ada lagi ruang berupa lapangan
kosong untuk bermain bagi anak-anak di kota ini,” tutur Adie Damanik.
Yang lebih unik lagi, ada sebuah instalasi di bagian atap Gedung Pameran,
beberapa kursi dan meja disusun rapi ditambah instalasi lainnya. Menurut
penjelasan Adie Damanik, itu merupakan sebuah kritik terhadap para pejabat
negeri ini. Para pejabat yang menempatkan dirinya jauh di atas, tidak
terjangkau oleh rakyat, dan seolah tak ingin melihat masyarakat bawah. Maka
lewat karya-karya instalasi ini, para pekarya Sumut 2012 mencoba menampung
jeritan rakyat yang lalu mereka sampaikan lewat pameran MCAF II.
Melihat latar belakang para pekarya muda yang kebanyakan mahasiswa, tentu
adanya apresiasi, dukungan atau bentuk kepedulian lainnya dari para penikmat
seni, khususnya dosen Seni Rupa sangat diharapkan.
“Meski baru sebagian kecil, paling tidak ada beberapa dosen yang
memberikan kritiknya saat melihat karya-karya kami. Dan kritik tersebut tentu merupakan
bentuk apresiasi dan dukungan yang sangat berharga,” kata Adie Damanik
menyikapi adanya kritik dari kalangan akedemisi kampus. “Lebih dari itu, kita
juga mengharapkan kunjungan langsung dari para dosen seni rupa tersebut. Sebab kunjungan
mereka sangat berarti bagi para pekarya muda seperti kami ini,” tambah Adie
Damanik menutup perbincangan kami di tengah-tengah pengunjung pameran malam itu.
Pameran Seni Rupa MCAF II yang bertema “Urban Art” ini dijadwalkan berlangsung
selama satu minggu (05 Mei – 12 Mei 2012).
Pameran juga dilanjutkan dengan diskusi “Urban Arts” serta Workshop
Performance Kolaborasi Pekarya Muda Sumut 2012 pada Kamis (10/5),
bertempat di Ruang Pameran dan Open Stage Taman Budaya Sumatera Utara,
Medan.
Foto (1) Instalasi, karya : Adie
Damanik & Irwanson Tamba
Foto (2) KEHILANGAN, karya :
Yashar
Foto (3) NAFSU, karya : W.
Siboro
Foto (4)
Para perupa berfoto di depan Gedung Pameran, ketika acara pembukaan
resmi Pameran Seni Rupa, Sabtu 05 Mei 2012 (pkl.19.30Wib) Taman Budaya,
Sumatera Utara – Medan.
Foto (5) Tampak beberapa
pengunjung sedang sibuk mengambil sesi foto lukisan dan rupa-rupa yang dipajang
di Gedung Pameran, Taman Budaya, Sumatera Utara - Medan.
Foto (6) : Seorang pengunjung
tampak sedang asyik mengamati sebuah lukisan di Gedung Pameran-Taman Budaya Sumatera Utara - Medan.
Oleh : Poloria
Sitorus, Medan, 06 Mei 2012
Penulis adalah pecinta seni. Saat ini bergiat di Komunitas Sastra
Indonesia (KSI)-Medan.
Harian BATAK POS, Kamis 10 Mei 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar