Nyawa
di Ujung Jalan
(Oleh : Ria Sitorus)
*
12 September 2014 :
Tepat hari Jum’at sore, sepulang
dari Acara AFI 2014 (Apresiasi FILM Indonesia) di Istana Mai’moon Medan, aku mendapat telpon. Masih berdiri di depan pintu
gerbang kost, sembari berjalan perlahan menuju kamarku, kujawab telpon itu.
Kak Wulan, kakak perempuanku,
memberitahukan sebuah kabar buruk. Abangku, Jaya, kecelakaan sepeda motor di
Kota Pekanbaru. Sontak seluruh kakiku terasa lemas. Aku terduduk di tengah
halaman rumah kost. Beberapa teman kost menatapku penuh keheranan.
“Kamu kenapa…?”
“Nggak kenapa-kenapa…” jawabku singkat. Aku segera masuk ke kamar
kost. Kutelpon balik Kak Wulan, sebab tadi sempat terputus karena
keterkejutanku.
“Sudahlah, dik… Kita tenangkan diri kita yah…
Berdoalah kita, semoga Tuhan masih menyelamatkan nyawanya,” kudengar suara
Kak Wulan mulai serak.
Mungkin di seberang sana, dia
sedang menangis. Tak terasa airmataku juga menetes. Aku tak kuasa. Tiba-tiba
aku merasa sangat takut kehilangan bang Jaya, abang yang paling kusayangi. Kami
hanya punya dua saudara laki-laki dari 6 bersaudara. Bang Pantun, anak pertama,
abang kami yang paling sulung. Bang Jaya, laki-laki paling bungsu, merupakan
anak kelima. Dan aku anak ke-6, paling bungsu dari semua.
Menurut kabar, kejadiaanya pada
Jum’at siang. Mendengar kabar buruk itu, Bapak langsung berangkat dari Toba,
sebuah kota kabupaten di daerah Sumatera Utara—menuju Kota Pekanbaru. Sementara
bang Jaya telah dilarikan ke R.S terdekat di kota itu oleh temannya—yang saat
itu boncengan bersama dia saat
kecelakaan, dibantu oleh dua orang saudara sepupu kami yang tinggal di daerah
Pekanbaru.
Dalam
hati aku marah pada bang Jaya
—“beginilah
jadinya kalau ngebut-ngebut di jalanan,” gerutuku.
Sejak dulu, bang Jaya memang
dikenal sebagai orang yang tak begitu peduli nasehat, jika itu tentang
berkenderaan di jalan.
Pernah semasa dia masih SMA dulu,
terlihat oleh Bapak dan Omak1)
dia ngebut di jalan raya saat disuruh
pergi ke pasar Porsea. Tiba di rumah Omak
dan Bapak bergantian menasehatinya agar tetap hati-hati dan jangan ngebut-ngebut saat naik motor, tapi dia
hanya tertawa, terkekeh-kekeh.
“Nggak keren kalau anak muda naik motor itu lambat-lambat dan
pelan-pelan,” begitu jawabnya. “Kayak
Oppung si Jonggara ajaaa…” coletehnya sambil terkekeh-kekeh,
mengilustrasikan pada salah seorang kakek yang paling tua di kampung kami
ketika itu. Aku ikutan tertawa. Dia memang agak nakal. Tapi begitu pun, dia
tetap abang yang baik bagiku.
**
Jum’at
malam menjelang ke hari Sabtu dini harinya, Kak Wulan kembali nelpon. Kami
mulai tak tenang. Risau tak terkatakan.
“Bagaimana kabar dari Pekanbaru, Kak…”
“Kita tunggu aja kabarnya, dik…” suara Kak Wulan semakin parau.
“Bagaimana Kak…?” nada kecemasan mulai terasa di dadaku.
“Kita hanya bisa berdoa, semoga dia bisa lebih cepat sembuh,”
katanya.
“Heemmm…” aku terisak.
“Mereka merujuk ke RS H.I atau V. I di Kota Siantar,” Kak Wulan
menjelaskan. Aku semakin terkejut. Itu artinya, luka kecelakaan yang dialami
bang Jaya sangat serius.
Tidak puas dengan semua
penjelasan Kak Wulan, aku langsung calling
ke nomor Hp bang Jaya. Abang sepupuku yang menjawab. Dia berusaha
menenangkanku.
“Berdoalah, dik… Semoga perjalanan kami lancar. Kami diberangkatkan
dengan Ambulance, 2 Perawat, 1 Sopir. Dan dia harus standby dengan tabung
oksigen,” abang sepupu menjelaskan keadaannya.
Aku tersentak mendengar tentang
tabung oksigen itu. Jantungku berdegub lebih kencang dan tak karuan. Imajinasiku
melayang tinggi, sosok bang Jaya yang terbaring lemah penuh luka di tubuhnya
dan pernafasan yang harus dibantu dengan oksigen.
“Oh, Tuhan…” aku hanya bisa menjerit dalam hati.
Sebelumnya bang Jaya memang tidak
pernah mengalami kecelakaan saat berkendara sepeda motor. Sekalipun itu hanya
kecelakaan kecil. Belum pernah terdengar oleh kami sama sekali.
**
Berbeda denganku, di masa kelas 2
SMA, pernah mengalami kecelakaan saat naik motor, dan hampir mati ketika itu.
Maklumlah, anak SMA!
Sehari sebelumnya aku dan
teman-teman, Susy dan Nurbaya sudah janjian akan pergi jalan-jalan ke rumah
Nurbaya. Kami berniat naik sepeda motor ‘tartik’—istilah
gaulnya tarik-tiga.
Maka paginya saat mau berangkat
ke sekolah, kusengaja agak telat dari rumah, sehingga aku ditinggal Bus langganan
Sekolah. Aku pun balik lagi ke rumah, minta izin sama Omak agar diberi naik sepeda motor ke sekolah. Aku menyusun rencana
dengan licik. Akhirnya Omak memberiku
kunci motor. Dengan bangga dan gagah, aku berangkat ke sekolah dengan
mengendarai sepeda motor. Tentu saja, rok SMA biru muda—semakin terlihat sexi saat naik motor.
Aku ngebut karena memang sudah terlambat. Ungtungnya pintu gerbang
sekolah belum tertutup saat aku tiba. Dan saat aku memasuki parkiran sekolah,
beberapa teman yang melihatku tersenyum kagum. Aku bangga! Zaman itu memang
masih sangat jarang anak sekolahan yang mengenderai sepeda motor ke sekolah,
bahkan beberapa Guru kami masih berjalan kaki dan naik angkutan umum.
Singkat
cerita, saat pulang jalan-jalan dari rumah teman, tentunya sudah agak sore. Aku
pulang lebih ngebut lagi, maksud hati
agar lebih cepat tiba di rumah.
Di SPBU Porsea—kota kecamatan di
Toba, aku berhenti berniat untuk mengisi bensin, meski akhirnya gagal karena
banyak sekali truk raksasa pembawa kayu-kayu besar sedang mengantri. Truk-truk
ini sedang menuju sebuah Pabrik Bubur Kertas yang ada di desa Sosor Ladang, tak
jauh dari kota kecamatan.
Seingatku, ada sekitar 7 hingga 9 truk. 2 truk
lainnya sudah berjalan keluar dari SPBU. Akhirnya aku keluar juga dari SPBU
itu. Tiba-tiba saja aku begitu gugup—saat sopir-sopir truk menggodaku yang naik
motor sendirian. Aku menaikkan kecepatan. Mencoba untuk melewati truk-truk
raksasa itu. Kulihat jalur kanan kosong, aku memaksa untuk melewatinya. Dalam
usahaku melewati itu, ternyata persimpangan menuju kampung Narumontak sudah
sangat dekat. Saat kulihat kaca spion, truk-truk itu terlihat begitu dekat
mengekoriku. Aku gugup, sementara persimpangan ke Narumontak itu berbentuk siku
90 derajat dan turunan pula. Aku sempat ragu. Apakah aku harus menikung langsung
atau harus melanjutkan ke simpang Siraituruk, sebuah persimpangan yang lebih
jauh, biar lebih aman dan terkendali.
Keraguaanku membuatku semakin gugup.
Dan tak bisa lagi berpikir jernih. Aku membelok stang motor ke simpang
Narumontak, tanpa menurunkan kecepatan.
“Aaaaaggkkhhhhh….” jeritku menahan sakit. Menggemparkan suasana di
jalan raya .
Aku terseret di aspal hitam itu
bersama motor. Truk-truk di belakang mengerem dengan paksa. Hampir saja truk
raksasa itu menggilas tubuh mungilku, tapi kemudian aku terlempar ke sungai di
pinggir jalan. Motorku terlempar lebih jauh, menghantam sebuah pohon tumbang di
tepi sungai. Hebohlah orang-orang di sekitar itu. Beberapa orang mengangkat
tubuhku yang telah berlumuran darah dari dalam sungai. Rok mini—biru muda yang sexy itu sobek. Baju putih berlumur
darah bercampur lumpur sungai. Luka-luka di sekujur tubuhku terasa kian pedih.
Rasanya perih sekali. Tak terhankan ketika itu.
Setelah
kejadian itu, aku tak pernah lagi berani naik motor. Mengendarai sendiri atau
pun diboncengin. Aku sungguh takut.
Pada masa-masa penyembuhan luka dan mentalku yang sudah terlanjur trauma, baru
aku sadari kesalahanku. Seharusnya aku bisa bermotor dengan lebih tenang. Tidak
seharusnya aku sok hebat di jalanan, memaksa untuk mencuri jalan
di jalur kanan, lalu ingin melewati truk-truk raksasa itu. Seandainya aku
tenang-tenang saja di belakang berisan truk itu, tentu hari naas itu tak akan
pernah terjadi. Tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Penyesalan
selalu datang terlambat dan tak ada artinya
lagi.
Mengingat kejadian kecelakaanku
di masa lalu, aku membayangkan bagaimana keadaan bang Jaya. Tentu saja dia
selalu lebih ngebut dibanding aku.
Teman bang Jaya yang saat itu diboncengin di belakang, berkisah mereka
melaju dengan kecepatan 110 Km/Jam—motor itu membawa tubuh mereka melayang di atas
jalan raya. Sehingga tidak sempat melirik ke kiri dank e kanan. Saat seunit mobil
di sisi kanan mereka hendak membelok ke kiri—yang kemungkinan tanpa klakson dan
lampu sign mereka pun tersembar. Terjungkal
hingga terbalik-balik di tepian aspal hitam-kasar. Terseret jauh dari bibir aspal
yang diperkirakan jaraknya sekitar 20 meter. Dan akhirnya terbentur ke tiang listrik.
Tiang batu itulah yang kemudian menghantam bagian kepala abang, hingga helm-nya pecah. Helm itu menghantam sebagian wajahnya. Pada saat itu bang Jaya tidak
menggunakan helm yang sesuai standart.
“Seandainya bang Jaya bisa lebih hati-hati dan lebih tenang saat
bermotor, tentu saja, kecelakaan seperti ini tak akan pernah terjadi,”
pikirku saat itu.
Pernah dulu, bang Jaya ini,
pulang ke Toba dari Kota Palembang dengan mengendarai sepeda motor. Maka sejak
dia berangkat hingga tiba di rumah, Omak
dan Bapak tak pernah tenang memikirkan anak laki-lakinya yang paling bungsu
itu.
Sekarang ketakutan kami
benar-benar terjadi.
**
Hari Minggu dini hari, 14
September 2014.
Kak Wulan kembali nelpon. Mataku
masih terasa sangat kantuk. Waktu itu belum penuh ke pukul 4 dini hari. Aku
menduga, ini pastilah berita paling buruk.
“Bagaimana kabarnya, Kak…” tanyaku hati-hati.
“Pulanglah, dik…” begitu pinta Kak Wulan. Hatiku menjadi tak tenang.
“Apa bang Jaya masih bisa sembuh…?” pertanyaanku itu sesungguhnya
bernada absurd. Aku tak tahu ‘kesembuhan’ seperti apa yang kupinta pada Sang
Pemberi Kehidupan.
“Iya, dia akan segera sembuh! Pulanglah…” ucap Kak Wulan tegas.
Meski setelah itu kedengar isak tangisnya tertahan. Aku menutup telpon.
Segera kupersiapkan diri untuk
berangkat pulang ke Toba. Usai mandi, aku telpon ke Batam, salah seorang kakakku
berdomisili di kota itu. Sary, keponakanku, yang menjawab telponnya pagi itu.
Mereka juga sedang berada di Bandara Hang Nadim-Batam, hendak terbang ke
Bandara Silangit di Toba. Darahku tersirap. Aku menagis. Semuanya diminta
pulang.
“Oh, mungkinkah abangku benar-benar akan berpulang…” aku meraung
dalam hati.
Sesegera mungkin aku bergerak
dari kost menuju terminal Amplas-Medan, mencari Bus Kota menuju Kota Siantar. Ternyata
ito Rinto, salah satu sepupuku dari
Jakarta juga sudah tiba di Bandara KNIA. Kami bertemu di RS H.I atas permintaan
bang Pantun, sekaligus menanyakan apakah masih ada ruagan kosong di ICU dan
UGD. Ternyata, penuh. Kami kalang-kabut. Kemudian kami menyewa taxi menuju R.S V.I, untungnya di sana ada
seorang kenalan bang Jaya yang begitu peduli dan begitu simpatik pada keadaan
kami. Segera semuanya beres olehnya.
Kami kemudian hanya terpaku
menunggu. Bolak/ik konfirmasi dengan Bapak yang sedang dalam perjalanan.
Sekitar pukul 4 sore, rombongan keluarga dari kampung tiba di R.S bersama kami
menunggu kedatangan mobil Ambulance yang
membawa bang Jaya. Kami menunggu dengan hati tak tenang, takut, terkadang
dengan rasa putus asa yang dalam.
Akhirnya pukul 5 sore, Ambulance yang membawa bang Jaya dari
Kota Pekanbaru tiba di R.S V.I. Omak meraung, meratap, mengejar anak
kesayangannya, bahkan sebelum diturunkan dari Ambulance. Kulihat, bapak turun dari Ambulance dengan ekspresi dingin dan beku. Aku tak tahu apa dan
bagaimana perasaan bapak saat itu. Mungkin keletihan perjalanan selama
berhari-hari telah menguras seluruh tanaga bapak. Segera pasien dilarikan ke
UGD. Beberapa saat lagi telah dimasukkan ke ruang ICU. Kami menunggu dengan
hati berdebar. Ketakutanku semakin menjelma. Aku sembunyi di dalam kamar mandi
rumah sakit itu, menangis diam-diam karena tak kuasa dan belum rela kehilangan
bang Jaya.
Saat itu, feelingku benar-benar mengatakan, bahwa bang Jaya mustahil pulang
kepada keluarga kami. Melihat luka-luka di tubuhnya. Sobekan lebar di lehernya.
Wajah yang hampir tak kami kenali. Akh, rahang depan abangku ternyata terdorong
ke dalam, hingga memaksa biji mata sebelah kanan menjorot keluar. Sungguh,
mengerikan sekali. Aku tak kuat melihatnya berlama-lama. Kututup wajah dengan
kedua tangan. Tapi kerinduanku padanya selalu memaksaku untuk memberanikan diri
menatapnya berulang-ulang. Meski itu terasa sangat mengerikan. Tabung-tabung
oksigen yang mencakar leher abangku membuat jantungku semakin berdegup kencang.
Aku takut. Sungguh sangat takut.
Melihat semua kenyataan itu,
logikaku mengatakan, tak mungkin bang Jaya hidup kembali.
“Dia—ruhnya, jiwanya, telah pergi meninggalkan jasadnya yang penuh luka
itu bahkan saat dini hari Sabtu lalu,” begitu bisik bhatinku. Tapi tak
kukatakan itu pada siapapun. Baik pada Omak,
bapak, abang atau pun pada kakak. Takut menambah duka-lara mereka.
Akhirnya, benar saja, Senin 15
September 2014 dini hari, pihak R.S telah mengantar jasad bang Jaya ke ruang
mayat. Tragedi yang memilukan ini, masih kerap terasa menyedihkan bahkan hingga
satu tahun kepergian bang Jaya.
Setelah
berpulangnya bang Jaya, aku diminta pulang dari Medan untuk menemani Omak-Bapak di rumah. Abang dan
kakak-kakak memintaku untuk mencari pekerjaan di Kabupaten Tobasa.
Dalam hal mobilitas, aku mengalami
kesulitan karena tak bisa lagi mengendarai sepeda motor. Trauma oleh kecelakaan
masa silam menghantuiku. Ditambah lagi oleh kematian bang Jaya.
Selama
beberapa waktu aku bolak-balik dari kota kecil Porsea menuju Kota Balige dengan
angkutan umum. Tapi aku merasa tidak puas, karena mobilitas sangat terbatas.
Aku terpaksa harus menggunakan jasa Becak jika harus mengunjungi beberapa
kantor dinas atau untuk mencapai kompleks sekolah. Dengan anjuran dari Bapak,
kembali kuberanikan diri untuk belajar mengenderai sepeda motor. Aku tekadkan
diri untuk belajar lagi. Melawan rasa takutku selama ini. Meski pada awalnya
aku ragu. Tapi aku tak bisa untuk terus bergantung pada oranglain untuk
mobilitasku kesana-kemari.
Akhirnya
aku lolos mengendarai sepeda motor dari kota kecil Porsea menuju Laguboti
hingga ke Balige-Soposurung. Jalan raya Porsea-Balige merupakan jalan lintas
Provinsi Sumatera. Banyak bus besar dan truk-truk besar melintas dari sana. Aku
harus super hati-hati di jalanan. Mengendalikan kecepatan rata-rata sekitar 50
Km/Jam hingga 70 Km/Jam. Tidak lebih dari 70 Km/Jam meskipun misalnya sedang
mengejar waktu. Setiap berangkat dari rumah, aku selalu safety mulai dari helm, jaket, sarung tangan, standby mantel hujan dalam jok motor, dan memeriksa keadaan motor.
Omak dan Bapak selalu dengan penuh kasih
mengingatkan agar aku hati-hati di
jalan. Tentu aku faham bagaimana kecemasan Omak
dan Bapak melepas putri bungsunya bertarung di jalanan. Mereka juga masih
trauma pada tragedi kematian bang Jaya yang disebabkan oleh kecelakaan bermotor
di jalan raya beberapa waktu lalu.
**
Tak
betah mengadu nasib di sebuah sekolah swasta di kota kecil Laguboti dengan
honor yang sangat minim, akhirnya di awal Agustus 2015 aku berangkat ke Kota
Batam untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Tiba di Kota Batam, aku
dihadapkan pada persoalan yang sama. Aku harus kembali bertarung di jalanan
dengan mandiri dan tentunya dengan tetap waspada.
Kota
Batam sedang dalam pertumbuhan yang pesat. Jalanan dibangun dengan luas dan
terdiri dari dua jalur. Bahkan di beberapa titik, jalur sepeda motor telah
dibangun khusus. Tidak menyatu dengan jalanan umum untuk bus dan mobil. Hal ini
memungkinkan para pengendara sepeda motor memacu kecepatannya rata-rata di atas
80 Km/Jam. Melihat kenyataan berkenderaan seperti ini, aku sempat merasa takut
mengenderai sepeda motor sendiri. Tapi, lagi-lagi tuntutan kehidupan
mengajarkanku untuk bisa bertarung di jalanan.
Kehidupan ini sangatlah keras.
Maka untuk bertahan hidup, kita harus lebih keras dari kehidupan itu
sendiri—begitu salah satu kutipan yang pernah kubaca dari salah satu novel
favoritku. Lalu kata-kata itu selalu kutitahkan pada hatiku. Aku memantapkan hati untuk bermotor sendiri. Hari
pertama, aku digiring oleh Sary, keponakanku, dari Batu Aji menuju Bengkong.
Waktu tempuh sekitar 35-40 menit dengan kecepatan rata-rata 50-60 Km/Jam. Ini
terbilang kecepatan lambat dibanding para pengendera lainnya yang rata-rata di
atas kecepatan 80 Km/Jam.
“Tenang aja, Tan… Tetap di sisi kiri. Perhatikan kaca spion dan lampu
sen. Mereka semua kan mengambil jalannya sendiri-sendiri. Yang penting, tetap
tenang dan percaya diri, juga hati-hati,” begitu nasehat Sary. Setidaknya
dia jauh lebih mahir bermotor dibanding aku yang pernah berhenti sekian tahun
oleh karena traumatis dari kecelakaan masa silam.
Ternyata benar saja. Aku lolos
menempuh jarak Batu Aji – Bengkong pulang-balik dengan tenang dan percaya diri.
Tentunya dengan SafetyFirst.
Setiap kali berangkat kerja
dengan mengendarai sepeda motor—aku harus selalu SafetyFirst. Memeriksa kondisi sepeda motor. Standby dengan helm LTD biruku, jaket, sarung tangan dan masker. Mengendalikan
kecepatan dengan baik. Tidak ngebut
di jalanan dan tetap waspada.
Setidaknya kutanamkan dalam hati,
aku tak ingin mati di ujung jalan—sebagaimana dialami oleh bang Jaya. Aku ingin
mati dengan cara terindah.
*
Catatan Kaki :
Omak : sebutan Ibu dalam masyarakata
Batak (Toba)
Ito : sebutan/panggilan di awal nama
oleh saura perempuan terhadap saudara laki-lakinya ataupun sebaliknya.
Salam,
PENULIS :
(Ria Sitorus)
**
Blog post ini
dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’
#SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan
Nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar