Minggu, 25 Oktober 2015

Nyawa di Ujung Jalan

Nyawa di Ujung Jalan
(Oleh : Ria Sitorus)
*
12 September 2014 :
Tepat hari Jum’at sore, sepulang dari Acara AFI 2014 (Apresiasi FILM Indonesia) di Istana Mai’moon Medan, aku mendapat telpon. Masih berdiri di depan pintu gerbang kost, sembari berjalan perlahan menuju kamarku, kujawab telpon itu.
Kak Wulan, kakak perempuanku, memberitahukan sebuah kabar buruk. Abangku, Jaya, kecelakaan sepeda motor di Kota Pekanbaru. Sontak seluruh kakiku terasa lemas. Aku terduduk di tengah halaman rumah kost. Beberapa teman kost menatapku penuh keheranan.
Kamu kenapa…?”
Nggak kenapa-kenapa…” jawabku singkat. Aku segera masuk ke kamar kost. Kutelpon balik Kak Wulan, sebab tadi sempat terputus karena keterkejutanku.
            “Sudahlah, dik… Kita tenangkan diri kita yah… Berdoalah kita, semoga Tuhan masih menyelamatkan nyawanya,” kudengar suara Kak Wulan mulai serak.
Mungkin di seberang sana, dia sedang menangis. Tak terasa airmataku juga menetes. Aku tak kuasa. Tiba-tiba aku merasa sangat takut kehilangan bang Jaya, abang yang paling kusayangi. Kami hanya punya dua saudara laki-laki dari 6 bersaudara. Bang Pantun, anak pertama, abang kami yang paling sulung. Bang Jaya, laki-laki paling bungsu, merupakan anak kelima. Dan aku anak ke-6, paling bungsu dari semua.
Menurut kabar, kejadiaanya pada Jum’at siang. Mendengar kabar buruk itu, Bapak langsung berangkat dari Toba, sebuah kota kabupaten di daerah Sumatera Utara—menuju Kota Pekanbaru. Sementara bang Jaya telah dilarikan ke R.S terdekat di kota itu oleh temannya—yang saat itu boncengan bersama dia saat kecelakaan, dibantu oleh dua orang saudara sepupu kami yang tinggal di daerah Pekanbaru.
            Dalam hati aku marah pada bang Jaya
—“beginilah jadinya kalau ngebut-ngebut di jalanan,” gerutuku.
Sejak dulu, bang Jaya memang dikenal sebagai orang yang tak begitu peduli nasehat, jika itu tentang berkenderaan di jalan.
Pernah semasa dia masih SMA dulu, terlihat oleh Bapak dan Omak1) dia ngebut di jalan raya saat disuruh pergi ke pasar Porsea. Tiba di rumah Omak dan Bapak bergantian menasehatinya agar tetap hati-hati dan jangan ngebut-ngebut saat naik motor, tapi dia hanya tertawa, terkekeh-kekeh.
Nggak keren kalau anak muda naik motor itu lambat-lambat dan pelan-pelan,” begitu jawabnya. “Kayak Oppung si Jonggara ajaaa…” coletehnya sambil terkekeh-kekeh, mengilustrasikan pada salah seorang kakek yang paling tua di kampung kami ketika itu. Aku ikutan tertawa. Dia memang agak nakal. Tapi begitu pun, dia tetap abang yang baik bagiku.
**
            Jum’at malam menjelang ke hari Sabtu dini harinya, Kak Wulan kembali nelpon. Kami mulai tak tenang. Risau tak terkatakan.
Bagaimana kabar dari Pekanbaru, Kak…”
Kita tunggu aja kabarnya, dik…” suara Kak Wulan semakin parau.
Bagaimana Kak…?” nada kecemasan mulai terasa di dadaku.
Kita hanya bisa berdoa, semoga dia bisa lebih cepat sembuh,” katanya.
Heemmm…” aku terisak.
Mereka merujuk ke RS H.I atau V. I di Kota Siantar,” Kak Wulan menjelaskan. Aku semakin terkejut. Itu artinya, luka kecelakaan yang dialami bang Jaya sangat serius.
Tidak puas dengan semua penjelasan Kak Wulan, aku langsung calling ke nomor Hp bang Jaya. Abang sepupuku yang menjawab. Dia berusaha menenangkanku.
Berdoalah, dik… Semoga perjalanan kami lancar. Kami diberangkatkan dengan Ambulance, 2 Perawat, 1 Sopir. Dan dia harus standby dengan tabung oksigen,” abang sepupu menjelaskan keadaannya.
Aku tersentak mendengar tentang tabung oksigen itu. Jantungku berdegub lebih kencang dan tak karuan. Imajinasiku melayang tinggi, sosok bang Jaya yang terbaring lemah penuh luka di tubuhnya dan pernafasan yang harus dibantu dengan oksigen.
Oh, Tuhan…” aku hanya bisa menjerit dalam hati.
Sebelumnya bang Jaya memang tidak pernah mengalami kecelakaan saat berkendara sepeda motor. Sekalipun itu hanya kecelakaan kecil. Belum pernah terdengar oleh kami sama sekali.
**
Berbeda denganku, di masa kelas 2 SMA, pernah mengalami kecelakaan saat naik motor, dan hampir mati ketika itu. Maklumlah, anak SMA!
Sehari sebelumnya aku dan teman-teman, Susy dan Nurbaya sudah janjian akan pergi jalan-jalan ke rumah Nurbaya. Kami berniat naik sepeda motor ‘tartik’—istilah gaulnya tarik-tiga.
Maka paginya saat mau berangkat ke sekolah, kusengaja agak telat dari rumah, sehingga aku ditinggal Bus langganan Sekolah. Aku pun balik lagi ke rumah, minta izin sama Omak agar diberi naik sepeda motor ke sekolah. Aku menyusun rencana dengan licik. Akhirnya Omak memberiku kunci motor. Dengan bangga dan gagah, aku berangkat ke sekolah dengan mengendarai sepeda motor. Tentu saja, rok SMA biru muda—semakin terlihat sexi saat naik motor.
Aku ngebut karena memang sudah terlambat. Ungtungnya pintu gerbang sekolah belum tertutup saat aku tiba. Dan saat aku memasuki parkiran sekolah, beberapa teman yang melihatku tersenyum kagum. Aku bangga! Zaman itu memang masih sangat jarang anak sekolahan yang mengenderai sepeda motor ke sekolah, bahkan beberapa Guru kami masih berjalan kaki dan naik angkutan umum.
            Singkat cerita, saat pulang jalan-jalan dari rumah teman, tentunya sudah agak sore. Aku pulang lebih ngebut lagi, maksud hati agar lebih cepat tiba di rumah.
Di SPBU Porsea—kota kecamatan di Toba, aku berhenti berniat untuk mengisi bensin, meski akhirnya gagal karena banyak sekali truk raksasa pembawa kayu-kayu besar sedang mengantri. Truk-truk ini sedang menuju sebuah Pabrik Bubur Kertas yang ada di desa Sosor Ladang, tak jauh dari kota kecamatan.
 Seingatku, ada sekitar 7 hingga 9 truk. 2 truk lainnya sudah berjalan keluar dari SPBU. Akhirnya aku keluar juga dari SPBU itu. Tiba-tiba saja aku begitu gugup—saat sopir-sopir truk menggodaku yang naik motor sendirian. Aku menaikkan kecepatan. Mencoba untuk melewati truk-truk raksasa itu. Kulihat jalur kanan kosong, aku memaksa untuk melewatinya. Dalam usahaku melewati itu, ternyata persimpangan menuju kampung Narumontak sudah sangat dekat. Saat kulihat kaca spion, truk-truk itu terlihat begitu dekat mengekoriku. Aku gugup, sementara persimpangan ke Narumontak itu berbentuk siku 90 derajat dan turunan pula. Aku sempat ragu. Apakah aku harus menikung langsung atau harus melanjutkan ke simpang Siraituruk, sebuah persimpangan yang lebih jauh, biar lebih aman dan terkendali.
Keraguaanku membuatku semakin gugup. Dan tak bisa lagi berpikir jernih. Aku membelok stang motor ke simpang Narumontak, tanpa menurunkan kecepatan.

Aaaaaggkkhhhhh….” jeritku menahan sakit. Menggemparkan suasana di jalan raya .
Aku terseret di aspal hitam itu bersama motor. Truk-truk di belakang mengerem dengan paksa. Hampir saja truk raksasa itu menggilas tubuh mungilku, tapi kemudian aku terlempar ke sungai di pinggir jalan. Motorku terlempar lebih jauh, menghantam sebuah pohon tumbang di tepi sungai. Hebohlah orang-orang di sekitar itu. Beberapa orang mengangkat tubuhku yang telah berlumuran darah dari dalam sungai. Rok mini—biru muda yang sexy itu sobek. Baju putih berlumur darah bercampur lumpur sungai. Luka-luka di sekujur tubuhku terasa kian pedih. Rasanya perih sekali. Tak terhankan ketika itu.
            Setelah kejadian itu, aku tak pernah lagi berani naik motor. Mengendarai sendiri atau pun diboncengin. Aku sungguh takut. Pada masa-masa penyembuhan luka dan mentalku yang sudah terlanjur trauma, baru aku sadari kesalahanku. Seharusnya aku bisa bermotor dengan lebih tenang. Tidak seharusnya aku sok  hebat di jalanan, memaksa untuk mencuri jalan di jalur kanan, lalu ingin melewati truk-truk raksasa itu. Seandainya aku tenang-tenang saja di belakang berisan truk itu, tentu hari naas itu tak akan pernah terjadi. Tapi apa boleh buat, nasi telah menjadi bubur. Penyesalan selalu datang terlambat dan tak ada artinya  lagi.
Mengingat kejadian kecelakaanku di masa lalu, aku membayangkan bagaimana keadaan bang Jaya. Tentu saja dia selalu lebih ngebut dibanding aku.
Teman bang Jaya yang saat itu diboncengin di belakang, berkisah mereka melaju dengan kecepatan 110 Km/Jam—motor itu membawa tubuh mereka melayang di atas jalan raya. Sehingga tidak sempat melirik ke kiri dank e kanan. Saat seunit mobil di sisi kanan mereka hendak membelok ke kiri—yang kemungkinan tanpa klakson dan lampu sign mereka pun tersembar. Terjungkal hingga terbalik-balik di tepian aspal hitam-kasar. Terseret jauh dari bibir aspal yang diperkirakan jaraknya sekitar 20 meter. Dan akhirnya terbentur ke tiang listrik. Tiang batu itulah yang kemudian menghantam bagian kepala abang, hingga helm-nya pecah. Helm itu menghantam sebagian wajahnya. Pada saat itu bang Jaya tidak menggunakan helm yang sesuai standart.
Seandainya bang Jaya bisa lebih hati-hati dan lebih tenang saat bermotor, tentu saja, kecelakaan seperti ini tak akan pernah terjadi,” pikirku saat itu.
Pernah dulu, bang Jaya ini, pulang ke Toba dari Kota Palembang dengan mengendarai sepeda motor. Maka sejak dia berangkat hingga tiba di rumah, Omak dan Bapak tak pernah tenang memikirkan anak laki-lakinya yang paling bungsu itu.
Sekarang ketakutan kami benar-benar terjadi.
**
Hari Minggu dini hari, 14 September 2014.
Kak Wulan kembali nelpon. Mataku masih terasa sangat kantuk. Waktu itu belum penuh ke pukul 4 dini hari. Aku menduga, ini pastilah berita paling buruk.
Bagaimana kabarnya, Kak…” tanyaku hati-hati.
Pulanglah, dik…” begitu pinta Kak Wulan. Hatiku menjadi tak tenang.
Apa bang Jaya masih bisa sembuh…?” pertanyaanku itu sesungguhnya bernada absurd. Aku tak tahu ‘kesembuhan’ seperti apa yang kupinta pada Sang Pemberi Kehidupan.
Iya, dia akan segera sembuh! Pulanglah…” ucap Kak Wulan tegas. Meski setelah itu kedengar isak tangisnya tertahan. Aku menutup telpon.
Segera kupersiapkan diri untuk berangkat pulang ke Toba. Usai mandi, aku telpon ke Batam, salah seorang kakakku berdomisili di kota itu. Sary, keponakanku, yang menjawab telponnya pagi itu. Mereka juga sedang berada di Bandara Hang Nadim-Batam, hendak terbang ke Bandara Silangit di Toba. Darahku tersirap. Aku menagis. Semuanya diminta pulang.
Oh, mungkinkah abangku benar-benar akan berpulang…” aku meraung dalam hati.
Sesegera mungkin aku bergerak dari kost menuju terminal Amplas-Medan, mencari Bus Kota menuju Kota Siantar. Ternyata ito Rinto, salah satu sepupuku dari Jakarta juga sudah tiba di Bandara KNIA. Kami bertemu di RS H.I atas permintaan bang Pantun, sekaligus menanyakan apakah masih ada ruagan kosong di ICU dan UGD. Ternyata, penuh. Kami kalang-kabut. Kemudian kami menyewa taxi menuju R.S V.I, untungnya di sana ada seorang kenalan bang Jaya yang begitu peduli dan begitu simpatik pada keadaan kami. Segera semuanya beres olehnya.
Kami kemudian hanya terpaku menunggu. Bolak/ik konfirmasi dengan Bapak yang sedang dalam perjalanan. Sekitar pukul 4 sore, rombongan keluarga dari kampung tiba di R.S bersama kami menunggu kedatangan mobil Ambulance yang membawa bang Jaya. Kami menunggu dengan hati tak tenang, takut, terkadang dengan rasa putus asa yang dalam.
Akhirnya pukul 5 sore, Ambulance yang membawa bang Jaya dari Kota Pekanbaru  tiba di R.S V.I. Omak meraung, meratap, mengejar anak kesayangannya, bahkan sebelum diturunkan dari Ambulance. Kulihat, bapak turun dari Ambulance dengan ekspresi dingin dan beku. Aku tak tahu apa dan bagaimana perasaan bapak saat itu. Mungkin keletihan perjalanan selama berhari-hari telah menguras seluruh tanaga bapak. Segera pasien dilarikan ke UGD. Beberapa saat lagi telah dimasukkan ke ruang ICU. Kami menunggu dengan hati berdebar. Ketakutanku semakin menjelma. Aku sembunyi di dalam kamar mandi rumah sakit itu, menangis diam-diam karena tak kuasa dan belum rela kehilangan bang Jaya.
Saat itu, feelingku benar-benar mengatakan, bahwa bang Jaya mustahil pulang kepada keluarga kami. Melihat luka-luka di tubuhnya. Sobekan lebar di lehernya. Wajah yang hampir tak kami kenali. Akh, rahang depan abangku ternyata terdorong ke dalam, hingga memaksa biji mata sebelah kanan menjorot keluar. Sungguh, mengerikan sekali. Aku tak kuat melihatnya berlama-lama. Kututup wajah dengan kedua tangan. Tapi kerinduanku padanya selalu memaksaku untuk memberanikan diri menatapnya berulang-ulang. Meski itu terasa sangat mengerikan. Tabung-tabung oksigen yang mencakar leher abangku membuat jantungku semakin berdegup kencang. Aku takut. Sungguh sangat takut.
Melihat semua kenyataan itu, logikaku mengatakan, tak mungkin bang Jaya hidup kembali.
Dia—ruhnya, jiwanya, telah pergi meninggalkan jasadnya yang penuh luka itu bahkan saat dini hari Sabtu lalu,” begitu bisik bhatinku. Tapi tak kukatakan itu pada siapapun. Baik pada Omak, bapak, abang atau pun pada kakak. Takut menambah duka-lara mereka.
Akhirnya, benar saja, Senin 15 September 2014 dini hari, pihak R.S telah mengantar jasad bang Jaya ke ruang mayat. Tragedi yang memilukan ini, masih kerap terasa menyedihkan bahkan hingga satu tahun kepergian bang Jaya.
            Setelah berpulangnya bang Jaya, aku diminta pulang dari Medan untuk menemani Omak-Bapak di rumah. Abang dan kakak-kakak memintaku untuk mencari pekerjaan di Kabupaten Tobasa.
Dalam hal mobilitas, aku mengalami kesulitan karena tak bisa lagi mengendarai sepeda motor. Trauma oleh kecelakaan masa silam menghantuiku. Ditambah lagi oleh kematian bang Jaya.
            Selama beberapa waktu aku bolak-balik dari kota kecil Porsea menuju Kota Balige dengan angkutan umum. Tapi aku merasa tidak puas, karena mobilitas sangat terbatas. Aku terpaksa harus menggunakan jasa Becak jika harus mengunjungi beberapa kantor dinas atau untuk mencapai kompleks sekolah. Dengan anjuran dari Bapak, kembali kuberanikan diri untuk belajar mengenderai sepeda motor. Aku tekadkan diri untuk belajar lagi. Melawan rasa takutku selama ini. Meski pada awalnya aku ragu. Tapi aku tak bisa untuk terus bergantung pada oranglain untuk mobilitasku kesana-kemari.
            Akhirnya aku lolos mengendarai sepeda motor dari kota kecil Porsea menuju Laguboti hingga ke Balige-Soposurung. Jalan raya Porsea-Balige merupakan jalan lintas Provinsi Sumatera. Banyak bus besar dan truk-truk besar melintas dari sana. Aku harus super hati-hati di jalanan. Mengendalikan kecepatan rata-rata sekitar 50 Km/Jam hingga 70 Km/Jam. Tidak lebih dari 70 Km/Jam meskipun misalnya sedang mengejar waktu. Setiap berangkat dari rumah, aku selalu safety mulai dari helm, jaket, sarung tangan, standby mantel hujan dalam jok motor, dan memeriksa keadaan motor.
            Omak dan Bapak selalu dengan penuh kasih mengingatkan agar aku  hati-hati di jalan. Tentu aku faham bagaimana kecemasan Omak dan Bapak melepas putri bungsunya bertarung di jalanan. Mereka juga masih trauma pada tragedi kematian bang Jaya yang disebabkan oleh kecelakaan bermotor di jalan raya beberapa waktu lalu.
            **
            Tak betah mengadu nasib di sebuah sekolah swasta di kota kecil Laguboti dengan honor yang sangat minim, akhirnya di awal Agustus 2015 aku berangkat ke Kota Batam untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Tiba di Kota Batam, aku dihadapkan pada persoalan yang sama. Aku harus kembali bertarung di jalanan dengan mandiri dan tentunya dengan tetap waspada.
            Kota Batam sedang dalam pertumbuhan yang pesat. Jalanan dibangun dengan luas dan terdiri dari dua jalur. Bahkan di beberapa titik, jalur sepeda motor telah dibangun khusus. Tidak menyatu dengan jalanan umum untuk bus dan mobil. Hal ini memungkinkan para pengendara sepeda motor memacu kecepatannya rata-rata di atas 80 Km/Jam. Melihat kenyataan berkenderaan seperti ini, aku sempat merasa takut mengenderai sepeda motor sendiri. Tapi, lagi-lagi tuntutan kehidupan mengajarkanku untuk bisa bertarung di jalanan.
Kehidupan ini sangatlah keras. Maka untuk bertahan hidup, kita harus lebih keras dari kehidupan itu sendiri—begitu salah satu kutipan yang pernah kubaca dari salah satu novel favoritku. Lalu kata-kata itu selalu kutitahkan pada hatiku. Aku  memantapkan hati untuk bermotor sendiri. Hari pertama, aku digiring oleh Sary, keponakanku, dari Batu Aji menuju Bengkong. Waktu tempuh sekitar 35-40 menit dengan kecepatan rata-rata 50-60 Km/Jam. Ini terbilang kecepatan lambat dibanding para pengendera lainnya yang rata-rata di atas kecepatan 80 Km/Jam.
Tenang aja, Tan… Tetap di sisi kiri. Perhatikan kaca spion dan lampu sen. Mereka semua kan mengambil jalannya sendiri-sendiri. Yang penting, tetap tenang dan percaya diri, juga hati-hati,” begitu nasehat Sary. Setidaknya dia jauh lebih mahir bermotor dibanding aku yang pernah berhenti sekian tahun oleh karena traumatis dari kecelakaan masa silam.
Ternyata benar saja. Aku lolos menempuh jarak Batu Aji – Bengkong pulang-balik dengan tenang dan percaya diri. Tentunya dengan SafetyFirst.
Setiap kali berangkat kerja dengan mengendarai sepeda motor—aku harus selalu SafetyFirst. Memeriksa kondisi sepeda motor. Standby dengan helm LTD biruku, jaket, sarung tangan dan masker. Mengendalikan kecepatan dengan baik. Tidak ngebut di jalanan dan tetap waspada.
Setidaknya kutanamkan dalam hati, aku tak ingin mati di ujung jalan—sebagaimana dialami oleh bang Jaya. Aku ingin mati dengan cara terindah.
*
Catatan Kaki :
Omak : sebutan Ibu dalam masyarakata Batak (Toba)
Ito : sebutan/panggilan di awal nama oleh saura perempuan terhadap saudara laki-lakinya ataupun sebaliknya.

Salam,
PENULIS :

(Ria Sitorus)

**

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar