Kamis, 05 Juni 2014

Pertikaian PUISI




Pertikaian PUISI
(Oleh : Ria Sitorus)

Jika aku berhenti menulis PUISI
itu sama artinya nadiku berhenti berdetak
tak—tak—tak—tak—tak…
dan waktu di jantungku pun terhenti !

Nak—kau seorang sarjana,
apa mungkin kau hidup dari menulis PUISI saja?”
saban hari, Damang/Dainang seperti mencemaskan
masa depan puisi-puisiku.

Dik…berapa banyak kau dapatkan honor
dari puisi-puisimu itu? Puaskah kau—
hidup seperti itu, begitu-begitu saja..”
saudara-saudaraku seperti sangat prihatin tentang nasib puisi-puisiku,
seolah sangat prihatin akan nasib dan masa depanku.

Jika aku berhenti menulis PUISI,
itu sama artinya nadiku berhenti berdetak,”
kataku lagi seperti jawabku di hari-hari yang lampau.

Apa kau bisa kaya dari puisi? Apa kau bisa beli mobil mewah dari puisi? Apa kau bisa—
membangun rumah dari puisi? Apa kau bisa, bahagia—di dalam puisi?”

Pertanyaan-pertanyaan itu pecah—
di dadaku. Dan pertanyaan terakhir
menyusup di sudut jantung!
Ya—aku bahagia di dalam PUISI.
Puisi-lah jalanku mencari cahaya
—mencari jalan Tuhan
dan menemukan diriku sendiri,”
jawabku lirih…

Airmata mengalir lembut dan hangat
mewakili duka-lukaku..
mereka semua berlalu pergi
meninggalkanku dalam keterasingan
sebelum aku sempat bertanya;
Apakah kalian pernah membaca
sajak-sajak yang kutulis?”
(*)

(Medan, 20 Mei 2014)
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar