Pertikaian PUISI
(Oleh : Ria Sitorus)
Jika
aku berhenti menulis PUISI
itu
sama artinya nadiku berhenti berdetak
tak—tak—tak—tak—tak…
dan
waktu di jantungku pun terhenti !
“Nak—kau seorang sarjana,
apa mungkin kau hidup dari
menulis PUISI saja?”
saban
hari, Damang/Dainang seperti
mencemaskan
masa
depan puisi-puisiku.
“Dik…berapa banyak kau dapatkan honor
dari puisi-puisimu itu? Puaskah
kau—
hidup seperti itu, begitu-begitu
saja..”
saudara-saudaraku
seperti sangat prihatin tentang nasib puisi-puisiku,
seolah
sangat prihatin akan nasib dan masa depanku.
“Jika aku berhenti menulis PUISI,
itu sama artinya nadiku berhenti
berdetak,”
kataku
lagi seperti jawabku di hari-hari yang lampau.
“Apa kau bisa kaya dari puisi? Apa kau bisa
beli mobil mewah dari puisi? Apa kau bisa—
membangun rumah dari puisi? Apa
kau bisa, bahagia—di dalam puisi?”
Pertanyaan-pertanyaan
itu pecah—
di
dadaku. Dan pertanyaan terakhir
menyusup
di sudut jantung!
“Ya—aku bahagia di dalam PUISI.
Puisi-lah jalanku mencari cahaya
—mencari jalan Tuhan
dan menemukan diriku sendiri,”
jawabku
lirih…
Airmata
mengalir lembut dan hangat
mewakili
duka-lukaku..
mereka
semua berlalu pergi
meninggalkanku
dalam keterasingan
sebelum
aku sempat bertanya;
“Apakah kalian pernah membaca
sajak-sajak yang kutulis?”
(*)
(Medan,
20 Mei 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar